Wednesday 10 June 2020

Sesusah Apasih Menghargai Keberagaman di Indonesia?



credit: santricendekia.com

Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman. Bagaimana tidak, di Indonesia Kita ini ada 1.340 suku yang berbeda, 718 bahasa daerah yang berbeda, 6 agama berbeda yang diakui dan masih banyak perbedaan-perbedaan lain yang menunjukan Indonesia Kita ini sangat kaya akan keberagaman. Namun, sayangnya keberagaman ini yang seharusnya menjadi kekuatan Kita, malah seringkali menjadi masalah yang cukup besar. 

Pada 2 tahun yang lalu tepatnya tanggal 11 Februari 2018, telah terjadi penyerangan di gereja St. Lidwina. Berikut adalah kutipan-kutipan informasi mengenai kasus tersebut dari media informasi yang cukup kredibel.

Aparat kepolisian berhasil melumpuhkan seorang pelaku penyerangan di gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta, Minggu (11/02), yang menyebabkan setidaknya empat orang terluka akibat sabetan senjata tajam.
Pelaku yang berinisial S, kelahiran 1995, menurut polisi, berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur.
"(Aparat kepolisian) terpaksa mengeluarkan tembakan ke arah pelaku dan mengenai perut pelaku sehingga dapat dilumpuhkan dan di bawa ke rumah sakit UGM," demikian keterangan tertulis kepolisian setempat yang diterima BBC Indonesia, Minggu (11/02).
Pelaku melakukan serangan dengan senjata tajam saat misa berlangsung di gereja tersebut yang mengakibatkan tiga orang terluka, yaitu seorang pastur, satu orang jemaah dan seorang pengurus gereja.
Sejauh ini belum diketahui motif penyerangan. Baik pelaku maupun korban serangan masih dirawat di rumah sakit, kata polisi.
"Belum [diketahui], masih diperiksa. Sekarang sedang dirawat di rumah sakit," kata Kepala humas Polda DIY Yogyakarta, AKBP Yulianto kepada wartawan BBC Indonesia, Ayomi Amindoni, Minggu (11/02) melalui sambungan telepon. (BBC)

Ketua Komisi A DPRD DKIY Eko Suwanto menilai penyerangan yang terjadi di Gereja St Lidwina, Bedog Trihanggo, Sleman, Yogyakarta sudah tergolong aksi teror. Karena itu, menurut dia, penanganannya harus tuntas agar tidak menular.

"Ini bukan kriminal biasa, tapi sudah aksi teror yang tidak hanya merusak, melukai korban, tapi juga mengoyak kerukunan masyarakat, serta menimbulkan rasa takut di tengah masyarakat untuk beribadah," kata Eko saat meninjau lokasi kejadian, Minggu, 11 Februari 2018.

Eko mengatakan aksi kekerasan yang dilakukan siapa pun atas nama apa pun tidak bisa dibenarkan. Aparat keamanan, kata dia, perlu bertindak tegas agar warga Yogyakarta merasa aman. "Apa pun motifnya, aksi teror dalam segala bentuknya, khususnya yang mengganggu kegiatan ibadah tidak boleh berulang terus," ucapnya. (Tempo)

Mistaji (Ayah dari pelaku) menegaskan, perubahan yang dialami anaknya hanya pada perihal peribadatan yang lebih ekstrem. Suliono juga tidak pernah membahas masalah lain seperti bendera atau kenegaraan.

Meski demikian, Mistaji mengaku sudah berupaya menyadarkan anaknya tersebut, namun keluarga tidak mampu mengajak dia untuk kembali seperti sebelumnya. “Saat pulang dari Sulawesi, saya berusaha untuk menyadarkannya, tapi tetap saja tidak berubah,” jelasnya.
(Jawa pos)


Tak henti-hentinya kaum mayoritas menyerang kaum minoritas, walaupun dari teror tersebut tidak secara resmi mewakili kaum mayoritas namun seolah-olah teror tersebut datang dari kaum mayoritas. Dari kasus tersebut menyebutkan penyerangan terhadap pastur dan jemaat gereja St. Lidwina pada bulan februari 2 tahun yang lalu, dilatar belakangi oleh pengaruh dari pemikiran muslim ekstrem. Sudah banyak kasus peneroran terhadap kaum minoritas di Indonesia oleh para eksremis muslim, contoh kasus yang paling besar adalah bom bali.

Entah apa sebenarnya mereka pikirkan dalam melakukan hal-hal seperti itu. Namun menurut saya, mereka melakukan hal-hal tersebut karena mereka hanya memikirkan pandangannya sendiri tanpa memikirkan pandangan orang lain. Mereka menganggap pemikirannya lah yang paling benar dan mengganggap pemikiran lain salah dan harus mengikuti pemikirannya, dengan cara apapun mereka lakukan. Padahal dengan cara mereka, malah semakin menunjukkan kesalahan pada pemikirannya. Dalam konsep iman, memang kita harus mengganggap keyakinan kita yang paling benar dan yang lainnya salah, namun kebenaran itu hanya dalam pikiran dan hati diri kita, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinan kita karena mereka punya keyakinan mereka sendiri yang juga dianggap benar menurut mereka.

Namun, sebetulnya tidak semua muslim Indonesia memiliki pemikiran seperti mereka, kenyataannya golongan mayoritas dari muslim di Indonesia, NU atau Nahdlatul ‘Ulama malah sangat memperhatikan dan menjaga keberagaman di Indonesia. Bahkan di NU juga banyak tokoh yang membela kemanusiaan dan menjaga pluralisme di Indonesia, salah satu contohnya yang pernah juga menjabat sebagai presiden indonesia dan ketua PBNU dan tokoh kemanusiaan yang menginspirasi saya, beliau Alm. Gus Dur, dan taklupa juga ucapan terimakasih untuk Alm. Riyanto yang gugur dalam menjaga keberagaman di Indonesia. Tak hanya NU, begitu juga dengan Muhammadiyah yang merupakan golongan muslim terbanyak ke-2 di Indonesia dan golongan lain yang senantiasa menjaga keberagaman di Indonesia.

Untuk meminimalisir terjadinya tindakan terror seperti diatas menurut saya penting sekali ditanamkan pelajaran mengenai pluralisme sejak dini di sekolah, karena dengan mencintai keberagaman yang ada di Indonesia masyarakat tidak akan sebenci itu terhadap suku, agama, ras, atau golongan yang berbeda dengan dirinya.


Add Comments


EmoticonEmoticon